Posted by : Anthony Hijra a.K.a Tony
Jumat, 13 September 2013
BOLEH SHARE, TAPI DILARANG COPY PASTE!.
Avenged Sevenfold jadi model sampul majalah Revolver edisi terbaru (Issue 110, Bulan Agustus-September 2013).
Diterjemahkan Oleh: © Derry Septianda (Follow: @TheDerryS)
Diterjemahkan Untuk: Avenged Sevenfold Indonesia™ (Follow us: @A7XIndo)
Scan Majalah Oleh: Avenged Sevenfold Italia
Copyright Laws with regards to Plagiarism (copying material) Will Be Inforced on This Note.
Please, DO NOT cite, circulate, or copy without permission of the author. But you can share it
Hak cipta yang berkenaan dengan tindakan Plagiat (Pengkopian Materi) Akan diberlakukan didalam Catatan Ini.
Dimohon untuk TIDAK mengutip, menyalin, mencetak, dan memperbanyak catatan ini dengan cara apapun tanpa seizin penulis.
Regards
Di majalah tersebut terdapat artikel dan wawancara bersama para personil Avenged Sevenfold mengenai album terbaru mereka “Hail To The King”, dan masih banyak lagi deh pokoknya :v. Selengkapnya silahkan dibaca (jangan dicopy paste) tulisan artikel yang sudah kami (Avenged Sevenfold Indonesia, bukan yang lain) terjemahkan kedalam Bahasa Indonesia dibawah ini:
Pada suatu hari yang cerah di bulan Juni di Huntington Beach, California. Frontman Avenged Sevenfold, Matt Sanders, a.k.a. M. Shadows, duduk dengan senangnya di sofa ruang keluarga rumahnya, sembari mengawasi anak (laki-laki)-nya, River, yang sedang memainkan mainan golf-golfan-nya tersebut. “Padahal umurnya baru 11 bulan, tapi sudah bisa jalan.” ucap M. Shadows, dibarengi oleh rasa bangga sebagai orang tua saat anak itu tersenyum saat mengayunkan stik golf plastik ke arah mereka. “Dia sangat menyenangkan, aku ingin sekali terus bermain-main dengannya.”
Tapi masih ada sebuah wawancara yang harus diselesaikan, jadi, istri M. Shadows, Valary, segera menggendong anaknya tersebut dan membawanya ke ruangan yang lain – tapi sebelumnya dia (River) segera mengambil dan membawa pergi iPhone milik ayahnya. “Dia benar-benar sedang dalam masalah besar.” tawa M. Shadows. “Semua cara sudah kami lakukan untuk mengurusnya, gue tau bahwa dia bakalan tetap bersama kami.”
Jikalau saja hal itu tidak terasa menenangkan jiwa, adegan manis tersebut mungkin akan terasa sediki aneh, khususnya bagi seseorang yang masih memiliki suatu image yang melekat pada dirinya, khususnya di Avenged Sevenfold pada sekitaran tahun 2005 – band yang masih muda, hard-rocking, harder-partying, hell raisers bagaikan Mötley Crüe yang terinspirasi dari Dr. Hunter S. Thompson – tampaknya sudah mulai memperbaiki pribadi mereka. Tapi M. Shadows, Synyster Gates, Zacky Vengeance dan Johnny Christ, tidak diragukan lagi, mereka sudah tumbuh lebih dewasa.
Sejak itu, kedewasaan mereka seakan memaksa mereka pada saat kepergian tragis dari drummer Jimmy “The Rev” Sullivan pada tahun 2009 lalu, dan secara emosional mereka mengerjakan album Nightmare mereka pada tahun 2010, sebagai persembahan untuk The Rev.
“Iya. gan, kami udah ngelewatin banyak hal.” jawab Zacky. “Kami masih sedikit kekanak-kanakan di usia kami sekarang, tapi kami telah berhasil melampau berbagai macam hal yang tidak bisa dipercaya. Gue masih berumur 17 tahun pas kami mulai merekam album pertama kami di tahun 2001, Sounding the Seventh Trumpet. Kami memasuki umur kepala 3 kami sekarang. Setelah kepergian Jimmy, kami mungkin sangat sedih, dan sangat tertekan, akan tetapi kami berhasil melewati hal tersebut. Kami mendapatkan banyak rasa hormat dari hal itu, dan ternyata tur untuk album Nightmare juga adalah tur tersukses kami.”
“Sangat sulit.” ucap Johnny pada saat menjelaskan tentang tur album Nightmare, yang awalnya diawali bersama mantan drummer Dream Theater, Mike Portnoy (yang juga menjadi additional drummer di album Nightmare) dan diakhiri oleh Arin Ilejay (mantan drummer Confide), yang mengisi kekosongan setelah kepergian Jimmy. “Bagi kami hal tersebut adalah perban yang sangat kecil untuk mengobati luka kami karena kehilangan Jimmy, tapi saat kami konser dan bermain musik di hadapan para fans kami, hal itu terasa menyenangkan bagi kami. Saat kami hampir menyelesaikan tur, maka akan menjadi hal yang menyenangkan lagi. Kalo saja kami nggak bersenang-senang akan hal itu, kami kemungkinan nggak bakalan kembali lagi buat menulis album baru yang lain lagi.”
Hal tersebut membawa kita kepada album ke-6 dan pertama dalam 3 tahun terakhir mereka, Hail To The King, Disaat mereka semakin dewasa dan semakin bijaksana – nama album mereka terinspirasi oleh sebuah saat menyenangkan saat M. Shadows sedang menggendong bayinya dan mengangkatnya tinggi keatas sambil menyebut “Hail To The King!” – musik mereka tetap tidak melembut sedikitpun oleh kedewasaan ataupun kehidupan rumah tangga mereka. Malahan, Hail To The King bisa dibilang adalah album mereka yang terkeras dan sangat terfokus. Dimana biasanya mereka membuat lagu-lagu yang beragam, bermacam-macam genre, ciri khas waktu lagunya, dan latar belakang lagunya yang cepat; lagu-lagu baru mereka seperti “Shepherd Of Fire,” “Doing Time,” “This Means War,” dan “Hail To The King” sendiri lebih terdengar lebih keren dari lagu-lagu mereka sebelumnya. Dengan kemampuan progresif yang semakin dilatih oleh mereka, A7X telah menetapkan untuk menyalurkan kemampuan dan keahlian teknik mereka ke 10 track lagu di album terbaru mereka, dibeberapa bagian, lagu-lagu mereka mungkin akan mengingatkan kita pada lagu-lagu seperti lagu-lagunya Metallica di Black Album, ataupun lagu-lagunya Guns N' Roses di album Appetite For Destruction. “Ketimbang 5 lagu jadi 1, lo bakalan dapetin 5 lagu pertama di album ini,” canda Syn, tapi dia memang benar – untuk pertama kalinya di karir mereka, A7X telah berhasil menjinakkan kebutuhan musikal mereka, dan membuat sesuatu yang pantas diperbandingkan dengan album-album klasik yang menginspirasi mereka.
“Kami besar dengan mendengarkan album-album metal yang keren-keren,” jelas M. Shadows, “dan hal itu seperti awal bagi kami dan para fans kami; dan banyak dari fans kami yang berasal dari generasi yang lebih muda, nggak punya album metal yang keren yang bisa mereka dengarkan saat tumbuh besar. Kebanyakan mereka menyukai band-band yang tampil di Warped Tour, ataupun Ozzfest dan Mayhem, dan mereka nggak tau bahwa, contohnya aja deh band Five Finger Death Punch adalah suatu penurunan dari Pantera – dan Pantera adalah penurunan dari AC/DC. Bagi kami, ada semacam penurunan musikalitas yang serius semenjak akhir tahun '90an, jadi kami kepengen membuat akan seperti apa album '90an versi kami sendiri dan album metal yang seperti seharusnya, tapi dengan produksi tahun 2013.”
Di produksi oleh Mike Elizondo (yang juga ikut menangani album Nightmare), album Hail To The King pertama kali dimantapkan sejak musim gugur tahun lalu – bukan di dalam studio ataupun pada saat latihan band, akan tetapi pada saat mereka sedang makan malam bersama. “Udah dari pas kami bikin White Album, alias album Self-titled kami pada tahun 2007 lalu, kami ngumpul bareng-bareng dan makan malam dan minum bersama juga sambil memainkan beberapa lagu di beberapa album berbeda yang menurut kami keren, misalnya album-albumnya Mr. Bungle, atau Scorpions, atau Pantera, atau apapun itu.” kata M. Shadows. “Kami ngumpul-ngumpul disana dan mulai membicarakannya, dan kami mulai mendapatkan visi akan seperti apa yang kami inginkan untuk album selanjutnya nanti.”
Visi mereka untuk album baru mereka ini dengan cepat telah terpadu, saat Shad, Gates, Vengeance, dan Christ menyadari bahwa mereka menginginkan satu hal. “Kami memutuskan, kami ingin membuat album yang klasik.” sepengingat Gates. “Kami mendengarkan lagu-lagunya AC/DC, Led Zeppelin, Pantera, Black Album-nya Metallica, dan mencari tahu apa yang membuat orang-orang tertarik akan lagu-lagu mereka. Seturutnya, bagi kami sangat sulit untuk membuat lagu-lagu seperti itu, lagu yang dipenuhi oleh groove-groove sangar dan seluruh album yang greget. Menurut kami seakan ada yang kurang, dan ya, yang kami butuhkan adalah riff-riff yang mudah dikenali, kami menyukai hal itu, tapi sebelumnya kami belum pernah melakukan hal itu di lagu-lagu kami.” “Sulit dipercaya kita udah lama nggak melakukan hal itu.” tawa Johnny. “Gue selalu suka sama lagu yang punya riff-riff megah dan suara gitar yang chunky.” tambah Zacky. “Gue juga suka kalo bisa ngelakuin dueling leads, dan menyenangkan buat gue untuk bisa men-shred gitar. Tapi saat gue ngelakuinnya, hal yang terpenting buat gue daripada hal lainnya adalah memainkan sebuah open chord dengan volume tinggi dibarengi dengan high gain. Teknikalitas nggak seberarti power saat memainkan musiknya buat gue. Jadi album seperti ini, buat gue, adalah mimpi yang jadi kenyataan.”
Tapi sebagai seseorang yang juga bisa membedakan mana anthem musik AC/DC mana yang tidak bisa memberitahukan bahwa, untuk membuat musik yang simple dan to the point bisa menjadi hal yang paling menantang di dunia saat menulis lagu Hard Rock.“Sebelumnya kami udah mencoba hal itu saat membuat album Self-titled kami.” aku Syn.“Kami sangka kami udah berhasil ngelakuinnya. Lagu kami, seperti Scream, dimulai dengan musik yang groove-oriented, tapi selanjutnya malah kedengeran jadi kaya musik Punk, lalu kemudian melembut. Kami masih terlalu muda dan bodoh, dan kami nggak ngerjain PR kami. – Gue nggak mau mengungkit-ungkit hal ini – tapi para fans kami nggak bakal mau ngedengernya – tapi sebagai penulis lagu, lo harus sedikit memoles keahlian lo, dan asah terus sebanyak mungkin. Dan lo hanya bisa ngelakuinnya dengan cara banyak-banyak mendengarkan lagu-lagu yang ditulis orang lain, dan melihat beberapa hal yang ikut berkembang; bagaimana mereka menggunakan key changes, modulasi, semua hal seperti itu yang memberikan inspirasi lebih, tapi nggak mengganggu alur dari lagunya. Kali ini, kami berpendapat bahwa kami nggak mau membuat album yang setengah-setengah. Disaat kami mulai mengerjakannya, maka kami harus menulis lagu-lagunya dengan sungguh-sungguh.”
“Jika lo ngedengerin banyak lagu Rock jadul, lo tau bahwa banyak unsur-unsur pop didalamnya, tapi lagu-lagu itu telah benar-benar dibuat dengan sangat ruwet. Dan terasa sangat simple.” ucap M. Shadows. “band-band kaya Iron Maiden, Scorpions, UFO, mereka udah ngelakuin hal tersebut. Jadi kami benar-benar mempelajari hal-hal itu. Dengan album ini, kami memang sengaja menggunakan cara-cara seperti itu untuk mendapatkan hal yang kami inginkan di tiap lagunya.”
Sesi menulis lagu di album Hail To The King merupakan pekerjaan yang sangat meletihkan, yang mereka anggap terlalu banyak menentukan lagu apa yang memenuhi atau tidak yang sesuai dengan spesifikasi mereka. “Setiap riff lagu yang kami buat harus sesempurna mungkin.” kata Johnny. “Ada beberapa kali dimana, pada minggu-minggu akhir penulisan lagu, ada beberapa bagian yang kami nggak suka, jadi kami menghapus semuanya dan mulai lagi dari yang baru minggu depannya lagi. Hanya untuk memastikan bahwa setiap bagiannya se-klasik bagian sebelumnya.”
“Dasar kehendak kami adalah untuk membuat sebuah lagu, menambahkan layer-layer pada lagu tersebut, lalu dilanjutkan membangun lagunya, dan tambah layer-layer-nya lagi.” Ujar Zacky. “Kali ini, seakan-akan kami harus memulainya dengan semua ide-ide mantap ini, dan menarik layer-nya lagi lalu lanjut lagi, dan bilang “Liat, apa hal yang terkeren dan terkeren yang pernah kita lakuin?, apakah mainin lagu yang penuh dengan harmony dan melodi-melodi cepat?, ataukah hanya membiarkan Matt bernyanyi sekuat hatinya, dan mengulangi apa yang dia katakan sekuat mungkin?.”.”
“Rasanya sangat mudah untuk duduk-duduk disini dan menulis sebuah album dalam 3 bulan, dan bilang semuanya bagus.” ucap M. Shadows. “Tapi di dalam pikiran lo, lo tau bahwa lo baru nyelesain 7 dari 10 lagu, atau bahkan 9 dari 10 lagu. Hal yang membuatnya sulit adalah mencari tau apa yang membuat kami baru menyelesaikan 9 lagu, bukannya 10. Dan jika hal itu nggak bisa diperbaiki, maka biarin ajalah. Nggak ada kata kembali dan mengambil bagian dari lagu itu untuk lagu yang lain. Hal itu udah hilang. Jika hal itu nggak bekerja, berhentilah membuang-buang waktu lo.”
Pada kenyataannya nanti, hal pertama yang bakalan kalian sadari di album Hail To The King adalah, setidaknya bunyi bel yang berdentang di lagu pembuka “Shepherd Of Fire”, lalu dentuman drumnya, yang besar, keras dan mengalun sehingga terasa mencekik lehermu dan menyeretmu melalui musiknya. Hilang, ketukan drum yang sangat kompleks yang ada di album-album A7X sebelumnya, telah diganti dengan ketukan yang lebih berisi, dan greget. Akan tetapi masih tetap ada harmoni-harmoni dari dual guitar-nya, banyak sekali, tentunya, akan tetapi dentuman drum Arin Ilejay dan betotan bass Johnny Chist-lah yang benar-benar memberikan album ini kekuatannya.
“Salah satu hal yang kami ingin lakukan adalah membuat ketukan drumnya menjadi simpel, dan kemudian meng-overmix (menimpanya) lagi agar terdengar seperti lead drum.” jelas M. Shadows, “yang mana hal ini juga dilakukan oleh AC/DC, Led Zeppelin, dan band-band jadul lainnya. album-album mereka terkenal dengan suara gitarnya, dan juga suara drumnya yang pas. Suara drumnya seakan-akan mengendalikan lagunya. Dan kalo lo punya seseorang yang bermain drum dengan terlalu berlebihan, lo nggak bakal bisa seperti mereka tadi.”
Bagi Arin Ilejay, arah baru yang band ini tempuh menghadirkan sesuatu yang baru pada suara drumnya. Dia membawa sesuatu yang original ataupun asli, karena dia bisa saja meniru permainan drum The Rev secara eksplisit. Akan tetapi anak muda ini telah diberikan instruksi secara spesifik agar untuk tidak bermain seperti The Rev. “Aw, gan, lo bikin patah hati anak ini aja deh.” tawa Syn.
“Pada waktu kami menjalani proses penulisan lagu.” ucap Shadows, “kami hanya memberikannya beberapa album-album lain pada Arin. Dan bilang ke dia bahwa dia harus mempelajari nada-nada suara drumnya, dan harus mengerti bagaimana hal itu bisa bekerja. Hal itu tentu merupakan hal yang baru baginya. Dia awalnya terbiasa memainkan lagu-lagu Mars Volta, Dillinger Escape Plan, dan band-band Post-Hardcore lainnya. Dia lebih ingin bermain secara berlebihan, dan terkadang hal itu membuat ketukannya salah. Kamipun berpendapat bahwa kalau dia seperti itu dia bagaikan manusia gua dengan 2 stik di tangannya!.”
Hal itu tidak terjadi sampai mereka memulai proses perekaman lagu di studio Can-Am bersama dengan Mike Elizondo, Arin Ilejay diberi pendekatan baru yang berbeda, lebih grove-oriented. “Hari pertama kami merekam suara drum, dia masih bermain secara berlebihan.” sepengingatan M. Shadows. “Gue kira kami dalam masalah, oh tidak, dia bakalan terus bermain seperti itu!.” “Tapi pas dia dengerin drum track yang dia mainin dan telah digabung oleh demo gitar track, hal itu segera membuka matanya. Dengan segera, langsung terpintas di pikirannya “Wow, ternyata ketukan yang lebih simpel yang lebih baik ya!” Lalu selanjutnya, dia lebih memilih untuk memainkan ketukan yang lebih simple.”
“Arin sangat tertarik akan bagaimana hasilnya nanti, yang sangat membuat kami bangga, karena kami juga ingin dia tertarik pada hasilnya.” Kata Syn kepada sang drummer. “Dia melakukan apa yang Jimmy biasanya lakukan. Hanya saja Jimmy melakukannya lebih kuat, lebih cepat, lebih berteknik, tapi dia melakukan hal yang sama seperti Jimmy. Dia berorkestra – pendekatan yang juga sama dengan yang dilakukan oleh Ringo Starr, dengan semua hal yang di tekankan pada lagu-lagunya. Kalo lo pengen denger lagu yang berteknik, yang gila, lo bakal dengerin di beberapa lagu lain, tapi untuk kebanyakan, hal yang kami lakukan adalah nge-groove dan berorkestra.”
Dengan adanya komitmen dari mereka untuk membuat album yang lebih nge-groove, Hail To The King masih mempunyai bagian-bagian yang tidak terbantahkan, berciri khaskan mereka. Lagu “Requiem” (Yang dibuka dengan sorakan dengan bahasa latin), “Planets”, dan “Acid Rain” mencerminkan ketertarikan mereka yang semakin bertambah terhadap musik-musik klasik – M. Shadows sendiri menyatakan bahwa kali ini dia terinspirasi oleh seorang komposer pada awal abad ke-20, Gustav Holst – dan mereka juga bekerja sama dengan seorang konduktor terkenal, David Campbell di album baru ini. 2 lagu terakhir di album ini, bertemakan bayangan tentang apokaliptik, sebuah lagu yang dihiasi oleh orkestra yang megah, dan beberapa suara vokal M. Shadows yang paling emosional yang pernah direkam, dan juga dipenuhi oleh hal-hal yang mengesankan.
“Gue benar-benar merasa bahwa hal itulah yang membedakan kami dari yang lainnya.”ucap Syn untuk lagu “Planets” dan “Acid Rain”, “semua orang bisa menulis sebuah riff, tapi gue nggak berpikir bahwa ada banyak band yang bisa mengakhiri sebuah album seperti yang kami lakukan. Itu adalah akhiran terbaik dari semua album yang pernah kami buat, salah 2 lagu favorit gue yang pernah kami tulis – dan juga 2 lagu yang paling berbeda dari semua lagu yang pernah kami tulis.”
Dengan selesainya proses mixing dan mastering album Hail To The King, hal yang masih perlu dilakukan adalah bagi para fans A7X untuk mempersiapkan telinga mereka. Apakah mereka akan dengan mudah menerima dan menyukai album baru A7X yang jauh lebih groove-oriented ini?, A7X tampaknya sangat percaya dengan album ini, “Oh, tentunya dong.” ujar M. Shadows dengan bangga. “Coba deh liat perbedaan dari album Waking The Fallen dan City Of Evil, nggak ada yang perlu dipalsuin untuk perbedaan itu, hal itu hanyalah hal yang kami perlukan untuk melangkah maju – lalu dari album City Of Evil ke White Album (Self-titled), juga demikian. Album Nightmare gue pikir adalah album yang paling mendekati perkiraan dan harapan para fans pada saat itu. Dan dengan kepergian Jimmy, mereka tidak akan hanya duduk diam saja dan mengkritik asal-asalan. Ini adalah saat dimana kami secara tepat untuk melangkah maju. Gue rasa kami sudah menyelesaikan album yang sangat menakjubkan, dan jika ada orang yang sudah berpendapat bahwa album ini suara drumnya kurang greget atau apapun itu. Gue rasa banyak orang yang akan berpendapat “Wow, ini ternyata adalah album mereka yang paling mudah dikenali ya (landmark record)!.”. ”
“Kami sudah melewati sebuah masa transisi sebelumnya, tapi kali ini akan terasa sangat mulus.” tambah Syn. “Gue pikir kami hanya mendapatkan unsur-unsur baru. Bukannya suara dueling gitar-nya hilang, atau juga solo gitar-nya jadi lebih pendek. Masih ada banyak pokok dari album ini, lebih mendalam, dan lebih banyak waktu yang diperlukan untuk memelihara kemusikalitasan dari album ini. Mungkin album ini akan terasa kurang progresif dari album-album sebelumnya, tapi masih tetap ada lagu-lagu yang progresif – cukup puter aja lagu-lagu di akhir-akhir albumnya, kalo lo masih ragu!.”
Bagi sang gitaris, album Hail To The King berperan sebagai pertahanan bagi mereka sendiri. “Lagu-lagu ini ditulis dengan tujuan untuk dibawakan saat konser.” Katanya, “jadi kami sangat tertarik untuk memainkan lagu-lagu di album ini pada saat tur nanti”.
“Mungkin ada beberapa orang yang masih nyangkut jiwanya di tahun 2006, sehingga mereka masih berpikir bahwa A7X masih tetap kumpulan bocah kacau yang memakai makeup.” lanjutnya. “mereka hanya berdiri di festival saat kami manggung sambil memegang bir, dan gue bener-bener pengen menyingkirkan perilaku itu dari mereka. Gue pengen mereka melihat kami dan berpendapat “Astaga, mereka sangat keren!, siapa sih mereka?, Avenged Sevenfold?, dari mana mereka berasal?” akhirnya, hal itulah yang gue inginkan.”
Album baru Avenged Sevenfold, Hail To The King, akan di rilis pada tanggal 27 Agustus 2013, oleh Warner Bros. Pre-Order album (digital)-nya segera melalui iTunes, silahkan buka link ini untuk PO: KLIK LINK INI.
Diterjemahkan Oleh: © Derry Septianda (Follow: @TheDerryS)
Diterjemahkan Untuk: Avenged Sevenfold Indonesia™ (Follow us: @A7XIndo)
Scan Majalah Oleh: Avenged Sevenfold Italia
Copyright Laws with regards to Plagiarism (copying material) Will Be Inforced on This Note.
Please, DO NOT cite, circulate, or copy without permission of the author. But you can share it
Hak cipta yang berkenaan dengan tindakan Plagiat (Pengkopian Materi) Akan diberlakukan didalam Catatan Ini.
Dimohon untuk TIDAK mengutip, menyalin, mencetak, dan memperbanyak catatan ini dengan cara apapun tanpa seizin penulis.
Regards